PORFIRIN
(GABUNGAN PIROL) DALAM DUNIA MEDIS
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati penulis panjatkan segala puji dan syukur
kepada Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PORFIRIN
(Gabungan Pirol)
Dalam Dunia Medis”.
Makalah ini disusun dan diajukan sebagai salah satu tugas kimia organik.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan pengarahan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa isi maupun penyusunan makalah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran serta masukan yang bersifat membangun penulis harapkan dari semua
pihak demi perbaikan penulis dalam menyusun makalah lainnya dikemudian hari.
Akhir kata, penulis sampaikan
pula harapan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang berarti
khususnya bagi penulis sendiri dan bagi pembaca pada umumnya.
Bandung, Desember 2013
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar ..........................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................
Bab I PENDAHULUAN
......................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................
1.3 Definisi Operasional ........................................................................
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................
1.5 Manfaat Penelitian ..........................................................................
Bab II ISI ................................................................................................................
Bab III PENUTUP ...................................................................................................
Kesimpulan ............................................................................................
Saran ......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Porfirin
merupakan senyawa makrosiklik yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi
dan terdiri dari empat pirola yang dihubungkan oleh ikatan π melalui
gugus etilen (=CH yang dimilikinya. Hal ini yang memungkinkan terjadinya
proses serapan gelombang elektromagnetik untuk eksitasi elektron dari
tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Panjang gelombang yang diserap mencirikan
tipe radiasi elektromagnetik, seperti gelombang radio, ultraviolet, inframerah,
tampak dan sebagainya yang menjelaskan bahwa senyawa tersebut
dapat menyerap
salah satu dari radiasi elektromagnetik. Pofirin ini merupakan bahan
organik yang memiliki kemiripan struktur dengan klorofil sehingga dapat menyerap
panjang gelombang elektromagnetik yang dipancarkan matahari. Sistem
susunan ikatan rangkap porfirin terkonjugasi menyebabkan porfirin mempunyai
tingkat absorpsi yang baik terhadap sinar ultra violet (UV) (Aittala, 2010).
Panjang
gelombang yang diserap oleh senyawa porfirin terkait dengan beda
energi Highest Occupied Molecular Orbital (HOMO) dan Lowest
Unoccupied Molecular Orbital (LUMO). Perbedaan energi pada
kedua tingkat orbita ini ini akan
mempengaruhi energi yang dibutuhkan untuk eksitasi elektron dari tingkat HOMO
ke LUMO. Perbedaan inilah yang disebut sebagai band gap. Para
ilmuan telah melakukan berbagai studi tentang semikonduktor
organik yang
ditinjau dari aspek kinetik dan dinamiknya melalui metode eksperimen
di laboratorium. Eksperimen yang di lakukan di laboratorium menggunakan
perangkat analisis instrumen yang menghabiskan biaya yang sangat
mahal, waktu yang lama dan tenaga profesional. Seiring dengan berkembangnya
cabang ilmu kimia, kimia komputasi dapat digunakan untuk mempelajari
proses transisi elektronik atau eksitasi elektronik pada suatu
molekul,
sehingga bisa mereduksi perhitungan spektra elektronik dari orbital
dalam suatu
senyawa.
Penyakit
kanker menjadi penyebab kematian sekitar 7 juta penduduk dunia pada tahun 2008
dengan jumlah kasus baru pada tahun yang sama sekitar 12 juta (Boyle dan Levin,
2008). Selama ini
penanganan/pengobatan penyakit kanker dilakukan dengan penyinaran, kemoterapi,
atau kombinasi keduanya, dan pengangkatan jaringan kanker. Pengobatan dengan
penyinaran hingga kini masih belum dapat memberikan hasil yang memuaskan,
sedangkan kemoterapi sering menimbulkan/menginduksi kanker primer kedua sebagai
akibat dari sifat karsinogenik yang umumnya juga dimiliki oleh senyawa yang
digunakan. Demikian juga pengangkatan jaringan kanker juga masih sering tidak
sempurna (Penn, 1986). Oleh karena itu, usaha untuk menemukan senyawa baru
dengan aktivitas antikanker yang aman dalam penggunaannya dan pengembangan
teknik penanganan penyakit kanker sangat giat dilakukan oleh industri farmasi
dan pusat-pusat riset di seluruh dunia.
Porfirin dan turunannya telah banyak dipelajari sebagai
fotosensitizer untuk terapi fotodinamik sebagai salah satu metode pengobatan
kanker maupun tumor (Bonnet, 2000; Hargus, 2005). Turunan porfirin ini memiliki
toksisitas yang rendah untuk jaringan yang sehat dan kelarutannya juga rendah
dalam air (Kralova et al., 2010). Karena keefektifan porfirin untuk PDT, namun
kelarutan yang
rendah maka beberapa penelitian banyak mensintesis turunan porfirin yang
dimodifikasi strukturnya, bentuk kationiknya serta memformulasinya dengan suatu
pembawa yang dapat meningkatkan kelarutan porfirin dalam air (Kralova et. al.
2010; Schiavon, et al. 2000; Tjahjono, et. al., 1999, 2000).
Dari penelitian
sebelumnya telah disintesis senyawa kationik porfirin dengan meso-substituen
aromatis bercincin lima, yaitu imidazolium dan pyrazolium. Struktur kimia senyawa kationik porfirin dengan meso-substituen:
(a) pyridinium
(b) imidazolium dan (c) pyrazolium
Senyawa
ini dapat memodifikasi struktur dan sifat fisik DNA melalui interaksi
non-kovalen dan sekaligus mampu memotong DNA secara selektif dan efektif
(Tjahjono, et.al., 1999, 2000, 2001, 2006). Disamping itu senyawa
kationik porfirin telah diketahui dapat berikatan secara selektif dengan sel
kanker dan/atau DNA sel kanker dan mempunyai konstanta ikatan lebih besar
dibanding dengan DNA sel normal (Izbicka, et.al., 1999; Hurley, et.al.,
2000).
Senyawa
porfirin dapat dimodifikasi struktur kimianya, baik pada meso-substituennya,
atau pada pusat molekulnya dengan ion logam. Oleh karena itu senyawa ini dengan
mudah dilabel dengan radionuklida, baik pemancar γ maupun pemancar β, sehingga
senyawa turunan kationik porfirin dapat R1R1 R1 digunakan sebagai ligan
untuk pembuatan kit radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi kanker. Namun
demikian, karena radionuklida baik pemancar γ maupun pemancar β, seperti 99mTc
dan 188Re
memiliki radius atom yang cukup besar maka koordinasi radionuklida tersebut
dengan keempat inner nitrogen sangat sulit dilakukan dan membutuhkan
waktu yang lama (Tjahjono, dkk., 2006). Oleh karena itu salah satu alternatif
untuk melabel senyawa kationik porfirin adalah dengan menambahkan atom pendonor
pada substituen meso yang dapat membentuk ikatan koordinasi dengan
radionuklida tersebut, seperti struktur yang sedang dikembangkan saat ini.
Modifikasi
struktur senyawa kationik porfirin dengan meso-substituen piridinium dan
karboksilat Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mendesain dan mensintesis senyawa porfirin dengan substituen meso yang
berbeda yang dapat dilabel dengan radionuklida pemancar sebagai calon ligan
dalam formulasi kit radiofarmaka untuk diagnosis kanker.
1.2.
Rumusan
Masalah
Apa saja
yang terkandung dalam hemoglobin?
1.3.
Definisi
Operasional
1.4.
Tujuan
Penelitian
1.5.
Manfaat
Penelitian
Pirol
Pirola
Pirol
Pirol
Pirola atau pirol,
adalah sejenis senyawa organik aromatik heterosiklik
beranggota lima dengan rumus kimia C4H4NH. Turunan
tersubstitusinya juga disebut pirola. Sebagai contoh, C4H4NCH3
adalah N-metilpirola. Porfobilinogen adalah
pirola yang ter-trisubstitusi yang merupakan prekursor biosintetik banyak
produk alami.
Pirola merupakan komponen
makrolingkar yang lebih kompleks, meliputi porfirin heme, klorin dan bakterioklorin klorofil, dan
porfirinogen.
|
[109-97-7]
|
|
C1=CC=CN1
|
|
1/C4H5N/c1-2-4-5-3-1/h1-5H
|
|
C4H5N
|
|
67,09 g/mol
|
|
0,967 g/cm3
|
|
−23 °C
|
|
129–131 °C
|
Sifat-sifat
Pirola mempunyai kebasaan yang
sangat rendah dibandingkan amina dan senyawa aromatik lainnya seperti piridina, di
mana nitrogen
pada cincin tidak berikatan dengan atom hidrogen.
Kebasaan yang lebih rendah ini disebabkan oleh delokalisasi pasangan menyendiri
elektron atom nitrogen apada cincin aromatik. Pirola adalah basa yang sangat
lemah dengan pKaH sekitar −4. Protonasi akan menyebabkan senyawa ini
kehilangan aromatisitas, sehingga proses ini sangat tidak difavoritkan.
Sintesis
Terdapat banyak metode sintesis
organik pirola dan turunannya. Reaksi-raksi klasik misalnya sintesis pirola Knorr,
sintesis pirola
Hantzch, dan sintesis Paal-Knorr.
Bahan awal pada sintesis pirola Piloty-Robinson adalah 2 ekuivalen aldehida dan hidrozina. Produk reaksinya
adalah pirola dengan substituen tertentu pada posis 3 dan 4. Aldehida bereaksi
dengan diamina menjadi zat antara di-imina (R–C=N−N=C–R), kemudia dengan
penambahan asam klorida, menghasilkan penutupan cincin dan
pelepasan amonia
menjadi pirola.
Pada satu modifikasi, propionaldehida
direaksikan pertama-tama dengan hidrazina, kemudian dengan benzoil
klorida pada temperatur tinggi dan dibantu dengan iradiasi mikrogelombang:[6]
Reaktivitas
Baik proton NH dan CH pada
pirola bersifat asam moderat dan dapat dideprotonasi
dengan basa kuat
seperti butillitium dan logam hidrida.
"Pirolida" yang dihasilkan bersifat nukleofilik. Dengan menangkap konjugat basa dengan elektrofil (misalnya alkil atau
asil
halida) akan menunjukkan bagian mana yang terdeprotonasi sehingga akan
bereaksi sebagai nukleofil. Distribusi produk reaksi ini seringkali kompleks
dan tergantung pada basa yang digunakan (terutama ion lawan seperti litium dari
butillitium atau natrium dari natrium hidrida), substitusi pirola yang telah
ada, dan elektrofil.
Kontribusi resonansi pirola
memberikan kontribusi pada pemahaman reaktivitas reaksi. Seperti furan dan tiofena, pirola lebih reaktif
daripada benzena terhadap substitusi
aromatik nukleofilik karena ia dapat menstabilisasi muatan positif zat
antara karbokation. Hal ini karena
nitrogen dapat mendonor pasangan menyendiri elektronnya ke dalam sistem
resonansi cincin.
Pirola secara predominan menjalani substitusi aromatik elektrofilik
pada posisi 2 dan 5, walaupun produk substitusi pada posisi 3 dan 4 juga
didapatkan dalam rendemen yang rendah. Dua reaksi yang signifikan dalam
menghasilkan pirola berfungsional adalah reaction Mannich dan reaksi Vilsmeier-Haack.
Kedua reaksi ini sangat cocok dengan berbagai macam substrat pirola. Reaksi
pirola dengan formaldehida menghasilkan profirin.
Senyawa pirola juga dapat berpartisipasi pada
reaksi sikloadisi (Diels-Alder)
dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti katalis asam Lewis, pemanasan, atau
tekanan tinggi.
Pirol
diperoleh secara komersial lewat penyulingan tar batu bara atau dari furan,
amonia, dan katalis. Tiofen didapat lewat pemanasan campuran butana dan butena
dengan sulfur.
Seperti
digambarkan, struktur heterosiklik ini tampak seperti diena, tetapi pada
kenyataannya, sistem cincin ini ialah aromatik. Senyawa heterosiklik ini
berperilaku seperti benzena dalam banyak hal, terutama kecenderungan menjalani
substitusi aromatik elektrofilik. Alasan yang berkaitan dengan perilaku ini
akan menjadi lebih jelas jika memeriksa pengikatan dalam molekul-molekul
tersebut.


PORFIRIN
Porfirin adalah suatu senyawa organik yang mengandung empat cincin pirol,
suatu cincin segi lima yang terdiri dari empat atom karbon dengan atom nitrogen
pada satu sudut. Senyawa ini ditemukan pada sel hidup hewan dan tumbuhan,
dengan berbagai macam fungsi biologis. Empat atom nitrogen di tengah molekul
porfirin dapat mengikat ion logam seperti magnesium, besi, seng, nikel, kobal,
tembaga, dan perak. Tiap-tiap logam yang diikat akan memberikan sifat yang
berbeda-beda. Jika logam yang diikat di pusat adalah besi, maka kompleks
porfirin disebut ferroporfirin, atau heme.
Empat gugus heme ini dapat bergabung menyusun hemoglobin, molekul dalam sel
darah merah yang berfungsi mengikat oksigen. Sementara vitamin B12 mengandung
molekul porfirin dengan ion kobal di tengahnya. Pada klorofil yang merupakan
molekul penting pada tanaman yang menangkap energi matahari dan memberi warna
hijau, molekul porfirin mengikat ion logam pusat magnesium (Mg).
Sifat khas porfirin:
pembentukan kompleks dengan ion-ion logam yang terikat pada atom N
cincin-cincin pirol
Contoh: heme = porfirin + Fe2+
(porfirin besi/heme)
klorofil = porfirin + Mg2+
(porfirin magnesium/klorofil)
Di alam, metaloporfirin terkonjugasi dengan protein membentuk
senyawa-senyawa antara lain:
1. Hemoglobin (Hb)
-merupakan porfirin besi yang terikat pada protein globin
-fungsi: mengangkut O2 di darah
2. Eritrokruorin
-terdapat pada beberapa invertebrata
-fungsi: hampir sama dengan Hb
3. Mioglobin
-pengangkut O2 di jaringan otot (pigmen pernafasan)
4. Sitokrom
-fungsi: pemindah elektron pada proses redoks
5. Katalase
-heme + protein
-pemecah 2H2O2 menjadi 2H2O + O2
6. Triptofan pirolase
-mengkatalisa oksidasi triptofan menjadi formil kinurenin
Fungsi porfirin:
1. Membentuk senyawa sebagai pengangkutan O2
2. Membentuk senyawa sebagai pengangkutan elektron
3. Membentuk senyawa sebagai enzim enzim tertentu
Perbedaan antara porfirin satu dengan yang lain adalah jenis senyawa yang
mensubstitusinya
STRUKTUR PORFIRIN
Menyingkat rumus porfirin dengan menghilangkan jembatan metenil dan setiap
cincin pirol yang diperlihatkan sebagai tanda kurung dengan 8 tanda
substituent.
BIOSINTESA HEME
Ada 2 tahap, yaitu:
1. sintesa porfirin
2. sintesa heme
Selama proses metabolisme bahan-bahan di atas, pemakaian heme untuk sintesa
sitokrom P 450 meningkat sehingga konsentrasi heme dalam sel menurun yang
menyebabkan meningkatnya amlev sintetase Protoporfirin III + Fe2+ heme
sintetase heme ferokelatase (di mitokondria). Sintesa heme terjadi dalam
sebagian besar jaringan mamalia, kecuali eritrosit dewasa (karena tidak
mengandung mitokondria).
Pengendalian biosintesa heme:
Yang pegang peranan adalah amlev sintetase Yang menghambat amlev sintetase:
1. heme
2. apopressor
3. glukosa
4. hematin in vivo
Yang meningkatkan amlev sintetase (karena dimetabolisir di hati dengan
menggunakan hemoprotein spesifik, yaitu:
sitokrom P 450 yang dibuat dari heme):
1. insektisida
2. bahan karsinogen
3. obat-obatan (steroid)
4. hormon estrogen
5. besi dalam bentuk chelated
KIMIA PORFIRIN
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga
bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya
menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektrisnya pada pH 3,0 – 4,0 mudah
diendapkan dalam larutan air Yang berwarna adalah porfirin dan
derivat-derivatnya yang mempunyai spektrum absorbsi pada daerah yang dapat
dilihat dan daerah UV.
Contoh: larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm
disebut PITA SORET (ciri-ciri penting!) Hematoporfirin mempunyai 2 pita
absorbsi yang lebih lemah pada 550 nm dan 592 nm di samping pita soret -dalam
pelarut organik, porfirin menunjukkan 4 pita utama seperti pita soret.
-bila dilarutkan dalam asam mineral kuat atau pelarut organik dan kemudian
disinari dengan UV akan memancarkan fluoresensi merah yang kuat untuk
mendeteksi porfirin bebas dalam jumlah kecil.
HEME DISENTESIS DARI SUKSINIL-KoA & GLISIN
Dua bahan awal sintesis heme adalah suksinil-KoA, yang berasal dari siklus
asam sitrat di mitokondria, dan asam amino glisin. Piridoksal fosfat juga
diperlukan dalam reaksi sintesis heme untuk “mengaktifkan” glisin. Produk
reaksi menggabungkan antara suksinil-KoA dan glisin adalah asam α-amino-β-ketoadipat,
yang cepat didekarboksilasi untuk membentuk α-aminolevulinat (ALA).
Rangkaian reaksi ini dikatalisis oleh ALA sintase,yaitu enzim penentu
kecepatan biosintesis porfirin dalam hepar mamlia.sintesis ALA terjadi
dimittokodria.
Pembentukan Heme Memerlukan Penggabungan Besi dengan Protoporforin
Tahap terakhir sintesis heme adalah penggabungan besi fero dengan
protoporfirin dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh
ferokelatase(hemesintase),yaitu ezim metrokondria yang lain.
Tiga enzim terakir di jalur ini dan ALA sintase terletak di
metrokondri,sedangkan enzim enzim lain terletak di sitosol.baik bentuk dari
eridtroid maupun non eritroid(housekeeping)dari keempat enzim pertama ini dapat
ditemukan.biosintesis heme terjadi di sebagian besar sel kecuali eritrosid
matang yang tidak mengandung mitrokondria.namun,sekitar 85% sintesis heme
terjadi di sel prekursor eritroid disumsum tulang dan sebagian besar sisanya di
hepatosit.
Porfirin nogen yang dijelaskan diatas tidaklah berwarna dan mengandung 6 atom
hydrogen tambahan bila dibandingkan dengan porfirin berwarna padananya.porfirin
tereduksi inilah(porfirinogen) dan bukan porfirin padananya dan yang merupakan
zat antara sejati dalam biosintesis protoporfiirin dan heme.
ALA Sintase adalah enzim regulatorik kunci dalam biosintesis Biosintesis
Heme di Hepar ALA Sintase terdapat dalam bentuk hepatic (ALAS 1) dan eritroid
(ALAS 2). Reaksi penentu kecepatan dalam sintesis heme di hati adalah reaksi
yang di katalisis oleh ALAS 1 suatu enzim regulatorik. Hemi juga memengaruhi
translasi enzim dan pemindahannya dari sitosol ke mitokondria.
Banyak obat yang jika diberikan kepada manusia dapat menyebabkan
peningkatan ALAS 1 secara mencolok. Sebagian besar obat ini metabolism oleh
suatu system di hati yang menggunakan hemoprotein spesifik, yaitu sitokrom
P450. Selama metabolisme obat-obat tersebut berlangsung pemakaian heme oleh
sitokrom P450 sangat meningkat sehingga mengurangi konsentrasi heme intrasel.
Penurunan konsentrasi heme intrasel akan memengaruhi derepresi ALAS 1 yang akan
dibarengi oleh peningkatan laju sintesis heme untuk memenuhi kebutuhan sel.
Regulasi bentuk eritroid ALAS (ALAS 2) berbeda dari regulasi yang
terjadi pada ALAS 1. Contohnya, enzim ini tidak induksi oleh obat yang
memengaruhi oleh ALAS 1, dan enzim ini tadak mengalami regulasi umpan balik
oleh heme.
PORFIRIN BERWARNA DAN BERFLUORESENSI
Berbagai porfirinogen tersebut tidak berwarna, sedangkan semua porfirin
berwarna. Dalam penelitian tentang porfirin atau turunannya, spectrum
absorpsi khas yang diperlihatkan masing-masing dalam region spectrum
sinar tampak dan ultraviolet sangat bermanfaat. Salah satu contohnya adalah
kurva absorpsi untuk suatu larutan porfirin dalam 5 % asam hidroklorida. Jika
porfirin yang dilarutkan dalam asam mineral kuat atau dalam pelarut inorganic
disinari oleh sinar ultraviolet, Porfirin tersebut akan memancarkan Fluoresensi
merah yang kuat. Fluorsensi ini sedemikian khasnya sehingga sering digunakan
mendeteksi adanya sejumlah kecil porfirin bebas. Ikatan yang menyatukan cincin
– cincin pirol diporfirin merupakan penyebab utama absorpsi dan Fluoresensi
khas senyawa golongan ini; ikatan rangkap ini tidak terdapat dalam
porfirinogen.
Hal yang menarik sifat fotodinamik porfirin adaalah kemungkinan
pemakaiannya dalam terapi kanker jenis tertentu, suatu prosedur yang disebut
fototerapi kanker. Tumor sering membentuk lebih banyak porfirin disbanding
jaringan normal. Jadi, Hematoporfirin atau senyawa terkait dapat diberikan
kepada pasien yang mengidap tumor – tumor tertentu. Kemudian, tumor diberi
laser asrgon yang akan menyebabkan eksitasi porfirin dan menimbulkan efek –
efek sitotoksik.
Spektrofotometri Digunakan untuk Memeriksa Porfirin & Prekursornya
Koporoporfirin dan Uroporfirin bermanfaat secara klinis karena pada porfiria,
Koproporfirin dan Uroporfirin di ekskresikan dalam jumlah besar. Senyawa –
senyawa ini jika terdapat di urine atau feses, dapat dipisahkan satu sama lain
melalui ekstrasi dengan menggunakan campuran pelarut yang sesuai. Keduanya lalu
di identifikasikan dan dapat diukur dengan metode spektrofotometri.
ALA dan PBG dalam urine juga dapat diukur dengan uji kolometri yang sesuai.
PORFIRIA ADALAH PENYAKIT GENETIK METABOLISME HEME
Porfiria adalh sekelompok penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas jalur
biosentesis heme; penyakit ini dapat bersifat genetic atau didapat. Meskipun
tidak prevalen, penyakit ini penting diingat dalam keadaan tertentu.
(mis. Sebagai diagnosis banding nyeri abdomen dan pada berbagai kelainan
neuropsikiatrik); jika tidak, pasien akan mendapat pengobatan yang tidak tepat.
Fotosensitivitas (lebih senang beraktivitas dimalam hari) dan bentuk tubuh
yang aneh (disfigurement) yang diidap oleh sebagian penderita porfiria
eritropoietik congenital menimbulkan anggapan bahwa para pasien ini mungkin
merupakan suatu prototype werewolf (manusia srigala). Belum ada bukti yang
menguatkan anggapan ini.
Biokomia Mendasari Kausa, Diagnosis, &
Pengobatan Porfiria
Dilaporkan ada enam tipe porfiria yang terjadi akibat berkurangnya
aktivitas enzim-enzim 3 sampai 8. Jadi, pemeriksaan aktivitas satu enzim atau
lebih dengan menggunakan sumber yang tepat (mis. Sel darah merah) penting dalam
menegakkan diagnosis pasti pada kasus yang dicurigai porfiria. Individu dengan
penurunan aktivitas enzim 1 ( ALAS2) mengalami anemia dan bukan porfiria (
Lihatt table 31-2) pasien dengan aktiviitas enzim 2 ( ALA2 HIDRATASE ) yang
rendah pernah dilakukan tetapi sangat jarang, kelainan yang timbul disebut
porfiria deisien-ALA dehidratase.
Secara umum, porfiria diwariskan melalui autosom dominan dengan
pengecualian porfiria eritropoetik congenital yang diwariskan secara resesif
sebagian porfiria dapat didiagnosi sebelum kehamilan dengan menggunakan pelacak
gen yang sesuai, seperti kebanyakan kelainan bawaan lain gejala dan tanda
porfiria timbul akinat adanya defisiensi produk metabolic setelah blob
enzimatik akibat penimbunan metabolic sebelum blog enzimatik. Jika kelainan
enzim terjadi pada awal jalur reaksi sebelum terjadinya porfirinogen ALA dan
PBG akan menumpuk di jaringan dan cairan tubuh secara klinis pasien mengeluh
nyeri abdomen dan gejala neuropsikiatrik, dipihak lain blogenzim yang terjadi
belakangan dalam jalur reaksi tersebut menyebabkan penimbunan berbagai
porfirinogen. Produk-produk oksidasi yaitu turunan porfirin padanannya
menyebabakan fotosensitifitas yakni suatu reaksi terhadap sinar tamapk
terpancar gelombang sekitar 400nm porfirin jika terpajang dengan sinar
berpanjang gelombang ini, diduga akan tereksitasi dan kemudian bereaksi dengan
molekul oksigen untuk membentuk radikal oksigen. Radikal oksigen ini merusak
lisosom dan organ lain. Lisosom yang rusak akan membebaskan enzim-enzim
degradatif dan menyebabkan kerusakan kulit dalam derajat yang berfariasi
termasuk pembentukan jaringan parut.
Porfiria dapat diklasifiikasikan berdasarkan organ atau sel yang paling
terkena dampaknya.organ atau sel ini biasanya adalah organ atau sel yang
menyintesis heme dengan sangat aktif.sumsum tulang membentuk cukup banyak
hemoglobin,dan hepar juga aktif dalam menyintesis hemoprotein lain,sitokrom
P450.oleh karena itu,salah satu klasifikasi porfiria nenbagi penyakit ini
menjadi eritropoietik atau hepatic.
ALASI adalah enzim regulatorik kunci jalur biosintesis heme di
hati.sejumlah besar obat(mis.barbiturat,griseofulvin)memici enzim.sebagian
besar obat ini melakukannya dengan menginduksi sitokrom P450 yang menggunakan
heme sehingga menderepresi (menginduksi) ALASI.pada pasien porfiria,peningkatan
aktifitas ALASI menyebabkan peningkatan kadar berbagai precursor heme
(sebelum hambatan/blok sintesis) yang berpotensi merugikan. Jadi,konsumsi obat
yang dapat memicu sitokrom P450 (yang di sebut sebagai penginduksi mikrosom)
dapat memici serangan porfiria.
Diagnosis tipe tertentu porfiria umumnya dapat di tegakkan berdasarkan
gambaran klinis dan riwayat keluarga,pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan
laboratorium yang sesuai.
Timbal berkadar tinggi dapat memengaruhi metabolism heme dengan berikatan
pada gugus SH enzim misalnya ferokelatase dan ALA dehidratase. Hal ini
memengaruhi metabolism porfirin. Kadar protoporfirin meningkat di sel darah
merah,dan kadar ALA dan koproporfirin di urine meningkat.
Diharapkan bahwa di masa mendatang porfiria dapat di tingkat gen. prinsip
dasar terapi porfiria adalah simtomatik.
KATABOLISME HEME MENGHASILKAN BILIRUBIN
Jika hemoglobin dihancurkan,globin akan di urai menjadi asam-asam amino
pembentuknya yang kemudian dapat di gunakan kembali, dan besi heme memasuki
kompartemen besi (juga untuk didaun ulang) bagian porfirin yang bebas-besi juga
diuraikan, terutama di sel repikulo endotel hati, limfa dan sumsum tulang. Kata
bolisme heme dari semua protein heme tampaknya dilaksanakan difraksi mikrosom
sel oleh suatu sistem enzim ko0mplek yang disebut heme oksigenase. Pada saat heme
yang berasal dari protein heme mencapai sistem oksigenase, besi tersebut
biasanya telah dioksidasi menjadi bentuk feri, yang membentuk hemen. Sistem
heme oksigenase adalah sistem yang dapat di induksi oleh substrat. Besi fero
kembali dioksidasi menjadi bentuk feri. Dengan penambahan oksigen lain, besi
feri dibebaskan dan karbon monoksida dihasilkan serta terbentuk biliverdin dari
pemecahan cincin tetrapirol dengan jumlah molar yang setara. Diperkirakan bahwa
1 g hemoglobin menghasilkan 35 mg bilirubin. Pembentukan belerubin harian pada
orang dewasa adalah sekitar 250-350 mg yang terutama berasal dari hemoglobin
meskipun ada juga yang diperoleh dari eritropoiesis inefektif dan berbagai
protein heme lain, misalnya sitokrom P450. Perubahan kimia heme menjadi
bilirubin oleh sel retikuloendotel dapat diamati in vivo sebagai warna ungu
heme dalam hematom yang secara perlahan berubah menjadi pigmen kuning
bilirubin. Bilirubin yang dibentuk di jaringan perifer diangkut ke hati oleh
albumin plasma. Metabolisme bilirubin selanjutnya, berlangsung terutama dihati.
Metabolism ini dapt dibagi menjadi tiga proses:
- Penyerapan bilirubin oleh sel parenkim hati
- Konjugasi bilirubin dengan glukuronat di retikulum endoplasma
- Sekresi bilirubin terkonjugasi kedalam empedu.
HATI MENYERAP BILIRUBIN
Bilirubin hanya sedikit larut dalam air, tetapi kelarutannya dalam plasma
meningkat oleh pembentukan ikatan non kovalen dengan albumin. Sejumlah senyawa,
misalnya antibiotik dan obat lain bersaing dengan bilirubin untuk
menempati tempat pengikatan berafinitas tinggi di albumin. Jadi dsenyawa –
senyawa ini dapat menggeser bilirubin dari albumin dan menimbulkan dampak
klinis yang signifikal. Di hati, bilirubin dikeluarkan dari albumin dan diserap
pada ,permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu sistem yang diperantarai oleh
suatu sistem kareier perantara yang dapat jenuh. Sistem transpor
terfasilitasi ini memiliki kapasitas yang sangat besar, bahkan pada kondisi
patologi sekalipun, sistem ini masih dapat membatasi laju metabolisme
bilirubin.
Karena sistem transpor terfasilitasi ini memungkinkan tercapainya
keseimbangan antara kedua sisi membran hepatosit, penyerapan netto bilirubin
tergantung pada pengeluaran bilirubin melalui jalu-jalur metabolik berikutnya. Setalah
masuk kedalam hepatosit, bilirubin berikatan dengan protein sitosol tertentu
yang membantu senyawa ini tetap larut sebelum dikonjugasi. Liganding (Anggota
famili glutation S-transferase) dan protein Y adalah protein-protein tang
berperan. Keduanya juga membantu mencegah aliran balik bilirubin kedalam aliran
darah.
Konjugasi Bilirubin dengan Asam Glukuronat
Terjadi di Hati
Bilirubin bersifat non polar dan akan menetap disel (misalnya terikat pada
lipid) jika tidak dibuat llarut air. Hepatosit mengubah bilirubin menjadi
bentuk polar yang mudah diekskresikan dalam empedu denga menambahkan
molekul asam glukurinat kesenyawa ini. Proses ini disebut konjugasi dan dapat
menggunakan molekul polar selain asam glukuronat (misalny sulfat).
Konjugasi bilirubin dikatalisis oleh suatu glukuronosiltranferase yang
spesifik. Enzin ini terletak di retikulum endoplasma, menggunakan UDP asm
glukuronat sebagai donor glukuronosil, dan disebut sebagai bilirubin UGT.
Bilirubin monoglukuronida adalah zat antara dan kemudian diubah menjadi
diglukuronoda. Aktifitas bilirubin UGT dapat diinduksi oleh sejumlah obat yang
bermanfaat secara klinis, mencakup fenobarbital.
Bilirubin Disekresikan ke Dalam Empedu
Sekresi bilirubin terkonjugasi kedalam empedu terjadi oleh suatu mekanisme
transpor aktif yang menetukan laju keseluruhan proses metabolisme bilirubin
dihati.
Protein yang berperan adalah MRP-2 (multidrug resistancelike protein) yang
juga disebut multispesific oganic anion transporter (MOAT). Protein ini
terletak dimembran plasma kanilukulus empedu dan menangani sejumlah anion
organik. Protein ini meruoakan anggot famili transporter ATP binding cassette
(ABC). Transpor bilirubin terkonjugasi dihati kedalam empedu dapat diinduksi
oleh obat-obatan yang juga mampu menginduksi konjugasi bilirubin. Jadi, sistem
konjugasi dan ekskresi untuk bilirubin bertindak seperti satuan unit fungsional
terpadu.
Biliruin terkonjugasi direduksi manjadi urobilinogen oleh bakteri usus.
Sewaktu bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus
besar, glukurodina dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus (β-glukuronidase), dan
pigmen tersebut kemudian direduksi oleh flora feses. Flora feses menjadi
sekelompok senyawa tretrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Di
ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan
dieksresi ulam melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen
enterohepatik. Pada keadaan abnormal, terutama jika terbentuk pigmen empedu
dalam jumlah berlebihan atau terdapat [penyakit hati yang mengganaggu siklus
intra hepatik ini, urobilinogen juga dapat diekskresikan ke urine.
Pada keadaan normal, sebagian besar urobilinogen yang tak berwarna dan
dibentuk dikolon oleh klorafeses mengalami oksidasi disana menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan ditinja. Bbertambah gelapnya tinja ketika
terkena udara disebabkan oleh oksidasi urobilin.
HIPERBILIRUBINEMIA MENYEBABKAN IKTERUS
Jika bilirubin darah melebihi 1 mg/dL (17,1 µmol/L), hiperbilirubinemia
akan timbul. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau disebabkan
oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang
diproduksi dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran
ekskresi hati – dengan menghambat ekskresi bilirubin – juga akan menyebabkan
hiperbilirubinimenia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun didalam
darah, dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5 mg/dL),
senyawa ini akan berdifusi kedalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.
Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.suatu saat van den bergh secara tidak
sengaja lupa menambahkan metanol ketika berupaya memeriksa pigmen empedu
didalam empedu manusia. Dengan terkejut, pembentukan warna normal terjadi “
secara langsung”. Bentuk bilirubin yang akan bereaksi tanpa penambahan metanol
ini kemudian dinamai bilirubin yang “ bereaksi langsung”. Untuk biblirubin yang
dapat di ukur hanya setelah penambahan metanol ini, kta menggunakan istilah “
bereaksi tak langsung”. Hiperbilirubinemia dapat diklasifikasikan, bergantung
pada jenis bilirubin yang ada diplasma—yi. Tak-terkonjugasi atau
terkonjugasi-menjadi hiperbilirubinemia retensi, akibat produksi berlebihan,
atau hiperbilirubinemia regurgitasi, akibat refluks kedalam aliran darah karena
obstruksi empedu.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami buat , semoga dapat
sangat bermanfaat bagi anda semua dan nilai yang kami peroleh dalam penyusunan
makalah ini semoga mendapat nilai yang baik. Kami mengucapkan terimakasih
kepada semua yang telah ikut serta dalam penyusunan makalah ini.
TERIMA KASIH
DAFTAR
PUSTAKA
http://anggihpik.blogspot.com/
dimana bisa mendapatkan bahan pirol ?
BalasHapus